Penulis: Sultan Syafiq
Mahasiswa HI Universitas Muhammdiyah Malang
Qatar 2022 adalah hal yang paling tak terlupakan untuk seluruh umat manusia, mereka yang giat dalam geopolitik, kajian kawasan, kependudukan, sosiologi dan terlebih khusus pecinta sepak bola. Mereka mendapatkan porsi perhatian penutup tahun yang memuaskan dengan segala isi pagelaran yang dilaksanakan hampir sebulan tersebut.
Banyak sekali yang menjadi pertama kali di dalam hal ini, mulai dari pertama kali dilaksanakan di tanah arab, pertama kali dilaksanakan di musim dingin sampai dengan pertama kalinya wakil arab dan wakil asia mengirim banyak sekali perwakilannya. Suara suara nyinyir bertebaran bahwa Piala Dunia kali ini tidak akan sukses dan sepi sebab orang orang enggan nonton ke jazirah arab apalagi mendekati penghujung tahun.
Entah yang mengatakan seperti itu mereka yang memang paham sepakbola dan memprediksi dengan riset yang mendalam atau dari kalangan yang tidak paham sepakbola sehingga tidak ingin event event yang mereka laksanakan di bulan November Desember menjadi sepi. Iya, sebab kebanyakan banyak sekali yang tiba tiba menjadi fans sepak bola seakan akan mereka ultras, holigans, dan tahu segalanya tentang sepak bola secara tiba tiba ketika Piala Dunia berlangsung, setelahnya? Selesai, mereka lupa seakan akan paling tahu sepakbola di ketika Piala Dunia berlangsung. Menggaung gaungkan Messi, Ronaldo, Mbappe dan Neymar terutama bagi para kaum hawa, padahal ketika Brazil bermain saja mereka tidak menonton.
Lucu, benar benar F.O.M.O kalua kata anak Jakarta Selatan, Fear of Missing Out, takut ketinggalan trend. Mereka yang sudah memperhatikan sepakbola sejak lama tentu menunggu ini sebagai ajang sepakbola kelas wahid yang adanya selama empat tahun sekali. Panggung Piala Dunia terakhir Ronaldo dan Messi, bintang bintang sepakbola baru, sampai dengan bagaimana pembuktian Qatar sebagai tuan rumah apakah sukses atau tidak? Bahkan bangsa Arab hampir saja mengirim perwakilannya yang ke lima setelah Arab Saudi, Tunisia, Iran, dan Maroko, yakni Uni Emirat Arab yang terpaksa harus gugur di babak Play Off usai dikalahkan oleh Australia.
Dunia terhenyak ketika di hari ketiga, Argentina yang katanya difavoritkan menjadi juara dunia dikalahkan oleh Arab Saudi di Lusail Stadium dan membuat dunia Arab berjingkrak jingkrak dengan Untanya. Herve Renard berceramah panjang di jeda babak untuk memerintah Salem Al Dawsari dan sohib sohibnya untuk bermain keras terhadap Messi lalu mengembalikan keadaan, bukan malah bermain seperti anak baik lalu pada akhirnya meminta foto dengannya. Hal itu kemudian dibuktikan oleh Shaleh Al Shehri dan Salem Al Dawsari yang membobol gawang kiper semenjana Liga Inggris yang bermain di Aston Villa, Emi Martinez. Ia terpaksa memungut bola dua kali dari gawangnya dan terpaksa menyaksikan bangsa Arab menari di tanahnya sendiri.
Asumsi bahwa negara Arab lainnya akan kuat dan menguasai pun membahana, wacana wacana kekuatan sudah ditentukan sedemikian rupa berikut mereka yang percaya diri sebab bermain di rumah sendiri. Namun bermimpi itu boleh, mengungkap kenyataan pun harus direlakan. Qatar sebagai tuan rumah kalah tiga kali oleh Ekuador, Senegal dan Belanda.
Arab Saudi yang digadang gadang lolos harus takluk oleh Polandia dan Meksiko, Tunisia sempat mengejutkan setelah mampu mengalahkan Team B Prancis dan pulang dengan keadaan terrsenyum. Dan kinilah Extrasnya, The Atlas Lions. Yang paling mengejutkan ternyata datang dari negeri paling barat, Al Maghrib, Maroko. Bangsa Arab di Afrika Utara yang pemain pemainnya berdatangan dari liga liga Eropa. Sebut saja Achraf Hakimi yang bermain di PSG, Hakim Ziyech di Chelsea, Noussair Mazroui di Bayern Munchen, Youssef Enneysiri dan Yacine Bonou di Sevilla, Sofyan Amrabat di Fiorentina dan masih banyak lainnya. Hakimi bahkan hampir saja tidak bermain di Piala Dunia sebab berkonflik dengan pelatih Maroko sebelumnya yakni Vahid Halihodzic.
Lalu ketika Walid Ragreroui masuk, pemain pemain kenamaan semuanya dipanggil dan membentuk sebuah satu kesatuan yang kuat. Kroasia ditahan seri, Kanada dikalahkan, dan secara mengejutkan mengalahan Belgia yang berada di ujung masa generasi emasnya. Maroko bahkan lolos menjadi juara grup dan mengejutkan mata dunia. Sebagai satu satunya bangsa Arab dan Afrika Utara yang lolos, Maroko pun mendapatkan sokongan kuat untuk berlaga di Fase Knock Out. Pembentangan bendera Palestina, perlambang berbakti kepada orang tua, sujud syukur di akhir pertandingan menambah simpati bangsa Arab kepada The Atlas Lions secara khusus dan dunia secara luas. Fase mengejutkan itu belum berakhir ketika mereka mengalahkan dua team Tangguh eropa yakni Spanyol di babak enam belas besar dan Portugal di babak delapan besar. Achraf Hakimi dengan selebrasi penguinnya memenangkan duel adu penalty dan memaksa Luiz Enrique yang di piala dunia membawa squad penuh politis untuk pulang lebih cepat. Bagaimana tidak? Enrique bahkan tidak memanggil Sergio Ramos, David de Gea, sampai Thiago Alcantara yang masih memiliki performa gemilang. Ia lebih memilih Eric Garcia, Unai Simon, sampai duo cilik Gavi dan Pedri yang minim pengalaman. Bahkan FC Barcelona pun mendominasi squad Spanyol sampai 8/9 pemain , yang notabene Barcelona sedang back to back Europa League dan puasa gelar musim lalu yang berarti, ia memilih squad bukan karena kompeten melainkan penuh akan kedekatan pribadinya, sehingga dipukul oleh Maroko di babak Adu Penalty adalah sebuah hal yang pantas.
Maroko lalu mengalahkan Portugal lewat Goal En Neyseri dan memulangkan sang megabintang Cristiano Ronaldo. Pemilik lima Ballon Dor tersebut menangis di Lorong menuju ruang ganti pemain dan membuat separuh dunia bersedih akan kekalahannya. Maroko yang masih membawa Ibu Ibu mereka untuk berpesta di atas lapangan akan menghadapi Prancis di semifinal.
Iya, Maroko adalah negara pertama dari benua Afrika yang bisa masuk semifinal Piala dunia, Maroko adalah negara pertama perwakilan bangsa Arab yang bisa menembus semifinal Piala Dunia. Untuk itu, dasar dukungan Benua Afrika dan bangsa Arab pun memusat, bersama Maroko. Melawan Prancis mereka memang kalah oleh goal cepat Theo Hernandez dan Randal Kolo Muani, namun hal tersebut tidak mengurangi serangan Maroko yang berkali kali membuat Prancis ketar ketir. Kita tidak akan lupa bagaimana ketenangan Sofyan Amrabat yang bisa mencegat lari kencang Kylian Mbappe, kita masih akan ingat bagaimana salto Azzedine Ounahi yang membentur tiang gawang. Yang kalua itu berhasil menembus garis gawang Hugo Lloris, maka lain ceritanya, sudah lain mungkin cerita yang terjadi, mungkin Maroko akan melangkah ke Final atau bahkan menjadi juara.
Namun mereka berhenti di semifinal, juga kalah di perebutan juara 3 oleh Kroasia, kendati begitu, lagi, Maroko tetap memberikan perlawanan yang luar biasa sampai akhir titik darah penghabisan. Banyak yang harus kita pelajari dengan perjuangan Maroko di Piala Dunia kali ini, mulai dari yang pertama dan wajib adalah berbakti kepada orang tua, terutama Ibu, karena itu adalah kunci kesuksesan yang dibukakan oleh langit. Lalu tidak pernah berhenti berjuang bagi lambing negara di dada, mengayomi dan bangga terhadap Palestina, dan yang terpenting, tidak pernah khawatir dengan status diremehkan atau tidak pernah diperhitungkan, perjuangan akan dibayar tuntas dengan hasil dan senyuman.
AL THE BEST ATLAS LIONS.
THE MOROCCAN MAYHEM.
DIMA MAGHREB!